Hantu Pohon Nangka
Oleh: Avicenna
Semua orang di rumahku sudah tahu, aku mudah sekali takut pada hal-hal sepele. Misalnya pada kecoa, atau pada kucing kecil tetanggaku. Bahkan bila ada tamu tak dikenal melangkah masuk ke rumahku, aku terbirit-birit berlari mencari Mama sambil berteriak, "Mama…ada orang asing datang!" jantungku kemudian akan berdebar kencang, keringat dingin keluar.
Anehnya… kejadian demi kejadian terus berlanjut tanpa aku bisa mengerti mengapa aku menjadi penakut. Adik bungsuku pun gemar mengejekku dengan nyanyian, "Mas Aver penakut… Mas Aver penakut…"
Bagaimana dengan cerita-cerita horor, film hantu, vampir…? Jangan ditanya! Aku tak berani samasekali menontonnya. Padahal kata Pak Ustadz Agus guru mengajiku,
"Bila kamu yakin akan keberadaan Tuhan Yang Maha Perkasa, semua rasa takut tentu tak akan mengusik hati kita. Hati kita tidak akan pernah gentar."
"Bahkan ada manusia-manusia terpilih yang dapat mengalahkan ketakutan mereka seperti yang terjadi pada Nabi Sulaiman", lanjut Pak Agus.
Sejak itu aku sering menghadiri pengajian Pak Ustadz Agus di TPA dekat rumahku. Aku tidak peduli pada ocehan adikku tentang hantu yang bercokol di pohon nangka di depan teras rumahku.
Ya…adikku, Aji, sering sekali berceloteh bahwa di atas pohon nangka kami ada penunggunya. Wajahnya seram, berkepala botak, bertubuh tinggi besar kira-kira dua meter. Katanya si penunggu itu terlihat ngambek bila anak-anak kecil naik ke pohon itu dan mematahkan ranitng-ranting pohon atau menggores-gores buah nangka yang belum ranum.
"Kau pikir aku akan takut dengan cerita-cerita khayalmu itu, Aji!" bentakku pada Aji. Tapi aku bingung juga memikirkan mengapa anak kecil seperti Aji sudah bisa berkhayal tentang hantu yang tinggi besar dan menakutkan. Apakah Aji benar-benar telah melihat hantu pohon nangka itu? Atau dia hanya ingin menakut-nakutiku saja?
"Betul lo Mas Aver. Sudah berkali-kali aku melihat hantu pohon nangka itu nongkrong di atas dahan yang berada di atas kamar Mas Aver…," cerita adikku suatu hari.
"Lha, mengapa si hantu tidak mengajakmu bermain?" ledekku.
"Hantu itu memang sering turun dari pohon nangka. Ia lalu mengelilingi rumah, dan dia sepertinya tidak suka jika rumah berantakan. Makanya kamar Mas Aver harus bersih. Gawat lo, kalau kena marah hantu!" ancamnya. Wah, aku tertawa geli mendengar cerita Aji.
Sore yang agak mendung, membuatku merasa gerah. Musim hujan sudah tiba rupanya. Air hujan sering membasahi halaman rumahku, sehingga udara di bawah pohon nangka agak lembab. Harum buah nangka dan bau bakal buah nangka sering memasuki kamarku. Aroma yang khas disukai adikku, tapi aku tidak begitu menyukainya. Jam menunjukkan pukul 17.00. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah dingin suhu kamarku. Sesaat kemudian telepon di ruang tengah berdering, bergegas aku mengangkatnya.
"Hallo, sayang, ini Mama… Mama dan Papa tidak bisa pulang sore ini. Nenekmu sekarang sedang dirawat di ruang gawat darurat…"
Wah, gawat nih, pikirku. Kedua orangtuaku belum pasti pulang malam ini. Hatiku menjadi gundah, karena malam ini adalah malam Jum'at Kliwon. Orang Jawa bilang malam yang penuh dengan hal-hal mistik. Waktunya hantu banyak bergentayangan. Akh, imanku mulai goyah lagi.
Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 23.00. Mama Papa belum juga datang. Aku dan Aji masih bangun. Karena bosan menunggu, akhirnya Aji menyalakan televisi. Aku masih membaca buku di kamar. Belum beberapa lama, tiba-tiba...pet! Lampu mati begitu saja, semua gelap gulita.
Aji berteriak memanggilku, akupun tidak kalah kerasnya berteriak memanggil Aji. Kami saling bersahut-sahutan. Kami berdua amat takut pada kegelapan. Untung saja, aku segera sadar! Masa aku harus takut pada kegelapan?
Tiba-tiba aku teringat pada hantu pohon nangka. Apakah ia akan muncul di kegelapan rumah kami. Tak terasa keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku.
"Cepat Mas, kita cari lilin…," sela Aji setelah kami saling beremu.
Brak brak…
"Aduh!" tiba-tiba setumpuk buku menimpa Aji. Adikku merintih kesakitan.
"Aduh Mas… tolong! Kepalaku sakit… berdarah Mas! Berdarah, tolong!"
"Sabar Aji, ya…ya… akan kutolong."
Aku meraba-raba dinding rumah mencari korek api. Dan tentu saja aku harus mencari betadin karena luka Aji harus diobati. Tak berapa lama… Byaar! Lampu menyala terang sekali. Aku amat girang! Bergegas kuhampiri Aji. Buku-buku menumpuk berantakan di samping Aji, sementara adikku duduk bersimpuh kesakitan di lantai. Kuamati ia dengan teliti.
"Mana lukamu? Mana darahnya?" Aku mencari-cari darah di tubuh Aji. Akh ternayata tak ada darah setetespun yang keluar. Tak ada segores lukapun pada tubuhnya. Aji meraba-raba dahinya yang basah akibat kena tetesan air hujan.
"Wah, bocor…," celetuk adikku.
Kami tertawa terbaha-bahak… Namun tiba-tiba… pet ! Lampu mati kembali, … dengan terburu-buru kupeluk Aji.
"Ayo Ji, kita masuk kamar saja. Kita tidur saja…"
Terseok-seok kami berdua menuju kamar tidur, kudengar hujan di luar agak keras. Tiupan angin malam yang menggerakkan daun nangka terdengar jelas olehku. Bukankah sudah kukatakan dahan-dahan nangka itu tepat berada di atas kamarku. Seer…seer, bunyi dahan pohon nangka. Kami ingat tentang hantu pohon nangka. Tiba-tiba terdengar benda terjerembab jatuh di dekat ranjang kami. Hii…iihh! Kupejamkan mataku. Kututup telingaku dengan bantal, kuraih tubuh adikku, kurapatkan dekapan kami. Detak jantung kami berdegup cepat sekali. Akhirnya kami tertidur…
Keesokkan harinya kami terbangun, jam dinding berdentang enam kali. Kuhentakkan Aji.
"Aji.. ayo bangun, kita harus sekolah! ayo cepat, nanti kesiangan…"
"Eh, Mas, apakah tadi malam kita memakai selimut ini?" tanya Aji keheranan, sambil membukakan selimut tebal yang menyelimuti tubuh kami berdua.
"Kurasa tidak…'kan ini selimut Mama. Mengapa ada di sini?"
Segera aku berlari keluar kamar. Ha!? Orangtuaku pun belum pulang. Kunci kamar tamu masih tergeletak pada laci tempatnya. Aku bingung. Aji pun bingung…
"Kalu begitu, siapa yang menyelimuti kita ya…?" Aji bertanya. Aku memandang Aji, kami saling pandang. Lalu secara bersamaan kami berteriak sambil berlari menuju keluar rumah.
"Hantuuuu….!!!"
"Eit, eiit…apa-apaan ini, kalian berdua…?" sekonyong-konyong mamaku datang dari arah dapur. Saat itu juga aku lega. Lega sekali…..
|